Minggu, 25 Agustus 2013

Apakah Kamu Sudah Menemukan Sahabat?

Orang bilang, sahabat adalah keluarga yang kita pilih. Kita nggak bisa memilih dilahirkan dari keluarga mana, kita nggak bisa memilih orangtua dan saudara kita, tapi kita bisa memilih sahabat kita.

Saya bertemu BFF (best friend forever) saya pertama kali pada saat kelas enam SD. Waktu itu kami berada dalam sebuah kompetisi, saling memperhatikan satu sama lain (atau saya saja, sih. Dia terlalu sibuk mempersiapkan diri untuk maju ke putaran berikutnya), dan kebetulan banget, kami berdua lolos sebagai wakil wilayah untuk tahap berikutnya.

Saya pikir itu semua akan selesai ketika kompetisi berakhir. Ternyata saya meremehkan kekuatan takdir. Siapa yang menyangka, satu tahun kemudian, kami bertemu lagi dan sejak saat itu dia bagaikan permen karet yang menempel di alas sepatu flat saya: lengket dan susah dilepaskan. Sampai sekarang, 19 tahun kemudian.

Kalau saja ada penelitian yang merumuskan tanda-tanda apakah kita telah menemukan "Sahabat Terbaik Dalam Hidup Kita", saya yakin mayoritas tanda-tandanya ada pada kami berdua. Sementara saya belum menemukan penelitiannya, jadi saya buat daftarnya sendiri (yang merupakan justifikasi bahwa kami berdua benar-benar BFF).

1. Ingat nggak, kita dan BFF dulu sering berpikir untuk tumbuh dewasa bersama?
Saya dan BFF memilih SMA dan universitas yang sama (untungnya diterima — pfiuh). Sekarang, bekerja di tengah kota dengan kantor yang nggak terlalu jauh. Beberapa kali kami duduk bersisian, menatap langit ibu kota, sambil bertanya satu sama lain: "Pernah terbayang nggak sih, dulu kita pernah bermimpi menjadi kita yang sekarang — dan sekarang kita menjadi apa yang kita impikan?" Yes dear, kita dan BFF tumbuh dewasa bersama dan mengejar mimpi bersama karena...kita adalah sahabat sehidup semati.

2. Dia bisa dipercaya dan loyal
Ketika kita memberikan pengakuan (terdalam, terkelam, terbahagia — apa pun), kita bisa memberitahunya tanpa perlu merasa takut akan dicap jelek atau takut suatu hari dia akan bergosip di belakang kita.

3. Memiliki guilty pleasure yang sama
Seperti misalnya mengomentari akun Instagram seseorang. Atau menonton program gosip di televisi yang sedang membahas hal tidak penting. Orang yang nggak kita kenal. Membuang waktu. Tapi menyenangkan. Dan kita akan membawa rahasia ini sampai dunia berakhir.

4. Kita berdua bisa menjadi sepasang mata-mata dan agen rahasia papan atas
Karena bisa berkomunikasi hanya dengan tatapan mata. Malah kadang-kadang bisa membaca pikiran satu sama lain. Atau dia bisa menyelesaikan kalimat yang sedang kita katakan — bahkan belum keluar dari mulut kita. Iya, segitunya.

5. Saling mendukung satu sama lain
Dalam hal baik dan buruk. Baik dalam hal penting maupun hal yang nggak masuk akal sekalipun. Kalau hal yang penting sih, memang sudah sewajarnya. Tapi untuk hal yang nggak penting? Seperti misalnya ketika saya sedang terjebak lembur di kantor dan dia mengirimkan pesan.

BFF: Di mana?
Saya: Kantor. Lembur. Lo di mana?
BFF: Udah di rumah, lagi tiduran. Eh tapi bentar lagi sibuk sih.
Saya: Sibuk apaan?
BFF: Sibuk bikin bom buat dilempar ke bos lo yang udah bikin anak buahnya lembur di Jumat malam.


6. Dia bahagia melihat kita sukses dan begitu pula sebaliknya
Ketika saya bilang bahwa saya mendapatkan promosi di kantor, dia adalah orang pertama yang memberikan selamat dan berkata bahwa dia bangga kepada saya. Dan sebaliknya, ketika akhirnya dia diterima di sebuah perusahaan multinasional di ibu kota, saya adalah orang yang berteriak paling kencang. Dan kebahagiaan tersebut datang dari hati — tulus, nggak kayak teman artifisial lainnya.

7. Perdebatan paling signifikan adalah ketika BFF memilih Britney Spears dan saya memilih Christina Aguilera
Dan sampai umur segini, perdebatan kami tidak pernah terlalu serius: BFF pilih Ian Harding, sementara saya pilih Ian Somerhalder. Our First World problem.

8. Nggak malu untuk bersikap bodoh dan kekanak-kanakan
Karena kita sudah mencapai tahap nyaman bersama dia sampai nggak peduli bahwa dengan yang kita lakukan dan katakan di depannya. BFF saya memiliki gelar berstatus cum laude dengan IPK nyaris sempurna, tapi di depan saya dia berubah seperti Patrick ketika bercakap-cakap dengan Spongebob. Lupa kalau memiliki kapasitas otak yang cukup untuk melakukan pembicaraan yang layak.

9. Kode etik BFF — yang jelas-jelas diciptakan sendiri, untuk kepentingan kita sendiri
Percakapan di suatu siang:
Saya: Ih, males banget, deh. Dia nge-add gue di Path.
BFF: Seriusan?? Ih nyebelin banget, sih. Di-block aja bisa nggak?
Saya: Lo kan nggak kenal dia. Ketemu juga nggak pernah. Kenapa ikut-ikutan sebel, sih?
BFF: Kode etik BFF, tau. Sebal kepada siapa pun yang disebelin sahabat. Nggak perlu pakai alasan. Apalagi logika.


Kalau Anda bagaimana? Sudah menemukan tanda-tandanya?

0 komentar:

Posting Komentar